Bergson berpendapat, hidup merupakan tenaga eksplosif yang ada
sejak awal dunia. Jika perkembangan
hidup digambarkan sebagai gerak ke atas, ia memiliki penahan gerak ke bawah,
menyebabkan hidup terbagi-bagi menjadi berbagai arus menuju ke banyak jurusan.
Sebagian tunduk pada materi, sedangkan yang lain tetap memiliki kemampuan untuk
berbuat secara bebas sesuai kehendaknya, dan terus bergerak keluar dari genggaman materi. Pada tumbuhan, perkembangan itu kandas dalam
bentuk-bentuk tanpa kesadaran. Pada hewan, perkembangan itu berhenti dalam
naluri. Sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung hingga taraf akal.
Bagi Bergson, naluri adalah tenaga yang dibawa sejak lahir guna memanfaatkan
alat-alat organis tertentu dengan cara tertentu. Naluri bekerja secara
otomatis, semata-mata diarahkan pada kepentingan kelompok atau rumpunnya. Hewan
dan manusia memiliki naluri. Selain naluri, manusia memiliki akal.
Bergson berpendapat,
akal mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu
manusianya. Dengan akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia
sekitar. Akal amat berguna bagi pendalaman hakikat sesuatu. Pada manusia,
naluri berkembang menjadi intuisi.
Intusi merupakan tenaga rohani, suatu
kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal.
Bagi Bergson, intuisi adalah naluri yang mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan dan memperluas sasaran menurut kehendak sendiri tanpa batas. Dalam konteks ini Bergson berpendapat, falsafah hidup merupakan kesadaran dan refleksi yang merujuk pada data yang diperoleh langsung dari intuisi dalam membentuk kehendak bebas dari manusianya.
Dari sini terlihat, materi Ontologi kita memang sedikit banyak terpengaruh pemikiran Bergson dalam pemaknaan yang tidak persis sama. Bergson tidak mengenal istilah “budi” sebagaimana kita anut di sini. Selain itu, Bergson membedakan intusi dengan naluri, sementara saya relatif menyamakannya.
>> Kembali ke 4.6. Antideterminisme: Ada Kehendak Bebas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar