Henri Bergson: Mengkritisi Determinisme

Salah satu pengkritik determinisme adalah ajaran falsafah hidup  Henri Bergson (1859-1941).  

Bergson berpendapat,  hidup merupakan tenaga eksplosif yang ada sejak awal dunia.  Jika perkembangan hidup digambarkan sebagai gerak ke atas, ia memiliki penahan gerak ke bawah, menyebabkan hidup terbagi-bagi menjadi berbagai arus menuju ke banyak jurusan. Sebagian tunduk pada materi, sedangkan yang lain tetap memiliki kemampuan untuk berbuat secara bebas sesuai kehendaknya, dan terus bergerak  keluar dari genggaman materi. Pada tumbuhan, perkembangan itu kandas dalam bentuk-bentuk tanpa kesadaran. Pada hewan, perkembangan itu berhenti dalam naluri. Sedangkan pada manusia, perkembangan itu berlangsung hingga taraf akal. 

Bagi Bergson, naluri adalah tenaga yang dibawa sejak lahir guna memanfaatkan alat-alat organis tertentu dengan cara tertentu. Naluri bekerja secara otomatis, semata-mata diarahkan pada kepentingan kelompok atau rumpunnya.  Hewan dan manusia memiliki naluri. Selain naluri,  manusia memiliki akal. 

Bergson berpendapat, akal mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu manusianya. Dengan akalnya, manusia dapat menyesuaikan diri dengan dunia sekitar. Akal amat berguna bagi pendalaman hakikat sesuatu. Pada manusia, naluri berkembang menjadi  intuisi. Intusi merupakan tenaga rohani,  suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal. 

Bagi Bergson, intuisi adalah naluri yang mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan dan memperluas sasaran menurut kehendak sendiri tanpa batas. Dalam konteks ini  Bergson berpendapat, falsafah hidup merupakan kesadaran dan refleksi yang merujuk pada data yang diperoleh langsung dari intuisi dalam membentuk kehendak bebas dari manusianya.     

Dari sini terlihat, materi Ontologi  kita memang sedikit banyak terpengaruh pemikiran Bergson dalam pemaknaan yang tidak persis sama.   Bergson tidak mengenal istilah “budi” sebagaimana kita anut di sini.  Selain itu, Bergson membedakan intusi dengan naluri, sementara saya relatif menyamakannya.  


>> Kembali ke 4.6. Antideterminisme: Ada Kehendak Bebas 

Hatinurani, Akal, Budi, Naluri dimana Berada?

 “Tidak ada yang paling agung di dunia ini selain makhluk bernama manusia;
dan tidak ada yang lebih agung di dalam diri manusia selain akal budinya.”
Sir William Hamilton

Menurut ilmuwan ahli saraf Paul MacLean, otak manusia terdiri atas tiga bagian utama. Ia membandingkan otak manusia dengan otak berbagai jenis hewan. Beberapa jenis hewan seperti kucing dan anjing memiliki indera penciuman dan pendengaran yang amat tajam, jauh lebih tajam daripada yang dimiliki manusia. Otak manusia tumbuh dari bawah ke atas, dari pangkal tulang belakang, kemudian berdasarkan evolusi jutaan tahun, bagian-bagian lebih di atasnya (Goleman, 2000; Zohar, 2001).

Bagian pertama dari otak adalah suatu struktur di bagian ujung tulang belakang yang mencakup bagian dari pangkal otak. Bagian ini mirip dengan otak reptil, dan untuk menghindari istilah ilmiah kita sebut saja sebagai “otak reptil”. Bagian otak ini mengatur pernapasan, denyut jantung, pergerakan otot, serta geraka-gerakan instinktif naluriah lainnya seperti respons “bertempur atau kabur”,  yang membuat seekor reptil bisa mengenali apakah di hadapannya  mangsa atau pemangsa yang akan memangsa dirinya. Dari pusat naluri ini pulalah yang membuat seseorang mampu melompati tembok setinggi empat meter ketika terancam bahaya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam keadaan normal. Atau seseorang mendadak lompat tanpa alasan yang jelas dan tiba-tiba langit-langit runtuh persis di tempat tadi dia duduk.

Bagian kedua otak yang tumbuh di atas “otak reptil” sebagai evolusi jutaan tahun bisa kita temui pada mamalia, yaitu sistem limbik yang berkembang dengan baik pada jenis hewan mamalia tapi tidak dimiliki jenis reptilia. Karenanya sebutlah bagian ini “otak mamalia”.  Jadi, pada mamalia, selain ada bagian “otak reptil” di pangkal tulang belakang adalah “otak mamalia”. Bagian inilah yang mengatur emosi, fungsi-fungsi perasaan: marah, benci, sayang, takut, cinta, sedih, dan berbagai ekspresi perasaan lainnya.
Kemudian, dari  evolusi jutaan tahun berikutnya,  di atas “otak reptil” dan “otak mamalia”  tumbuhlah  bagian “otak berfikir” pada manusia. “Otak berfikir” berkembang dalam dua sisi: kiri dan kanan. Otak kiri cenderung untuk hal-hal yang analitis, sistematis, dan verbal. Otak kanan untuk hal-hal yang nonverbal, intuitif, dan kreatif.

Kecerdassan intelektual (IQ) biasanya dikaitkan dengan “otak berfikir”. Kecerdasan emosional (EQ) biasanya dikaitkan dengan jaringan limbik pada “otak mamalia”. Sedangkan naluri atau instink berpusat pada “otak reptil”. Dalam hal ini, kita bisa mengaitkan akal dengan IQ dan budi dengan EQ.  (Untuk mendalami hal ini lihat Goleman, 2000; Zohar, 2001).

Lantas, di manakah hatinurani berada?

Sigmun Freud menemukan alam sadar dan bawah sadar. Dialah ilmuwan sekaligus filsuf pertama yang mengungkap fungsi dan cara kerja pikiran bawah sadar manusia. Selain alam sadar dan bawah sadar, Carl G. Jung menemukan alam suprasadar (supra-conscious). Inilah bagian yang berhubungan dengan atau berkomunikasi dengan “sesuatu yang disadari oleh manusia yang bersangkutan lebih kuasa daripada dirinya”, yang membuat dia berhati-hati dalam tindakan dan perbuatannya.  Alam suprasadar inilah yang oleh sebagian ahli disebut nurani (Zohar, 2001).

Mari kita “bedah” otak manusia lebih jauh lagi untuk menemukan lokas SQ – kecerdasan spiritual -  dan karenanya kita tidak lagi bisa menghindari istilah teknis ilmiah.

Adalah bagian otak yang berada di bawah pelipis yang disebut lobus temporal. Bagian ini berkaitan dengan sistem limbik, pusat emosi dan memori otak. Dua bagian terpenting dalam sistem limbik adalah amigdala – struktur yang meyerupai almond di bagian tengah dari area limbik – dan hipokampus, yang berperan penting untuk merekam pengalaman dan memori.

Penelitian Persinger menunjukkan, ketika pusat emosi di dalam otak ini dirangsang, terjadi peningkatan di lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup manusianya.  Pengalaman ini dapat mengubah arah hidup pelakunya. Peran sistem limbik juga menunjukkan arti penting faktor emosi dalam pengalaman spiritual atau religius, dibandingkan dengan faktor keyakinan (belief) yang bisa  hanya bersifat intelektual. Pakar neurobiologi semacam Persinger dan Ramachdran kini menamai bagian lobus temporal yang berkaitan dengan pengalaman religius atau spiritual itu sebagai god spot. Sebagian pakar berpendapat bahwa god spot atau titik Tuhan ini telah berevolusi di dalam otak untuk tujuan tertentu (Zohar, 2001:82).

Jadi, di sinikah hatinurani itu berada?
__________________
Goleman, Daniel (2000). Emotional Intelligence - terjemahan. Jakarta: Gramedia

Zohar, Danah & Ian Marshal (2001). SQ: Spiritual Intelligence – the Ultimate Intelligence – terjemahan. Bandung: Mizan Media Utama
    Kembali ke: